Pendahuluan
Perkembanga islam telah membawa implikasi
terhadap tatanan dunia. Mulai dari abad ke 7 masehi hingga pada masa sekarang.
Islam tidak hanya sebagai agama, melainkan islam juga menjadi sebuah peradaban.
Perkembangan islam telah melewati berbagai dinamika yang kompleks. Mulai dari
zaman Rasulullah, dilanjutkan oleh para sahabat, disambung dengan mamlukah,
hingga pada akhir perang dunia 1, Kerajaan islam terakhir runtuh dan berubah,
dan negara islam yang dulunya dalam satu Daulah terpecah menjadi negara negara kebangsaan.
Walaupun islam tidak lagi dalam satu Daulah dan pemerintahan, islam tetap
eksis. Hal ini menjadi bukti bahwa islam adalah rahmatanlilalamin dan
membawa perdamaian.
Pada masa Rasulullah segala hal menyangkut
syariah dapat langsung ditanyakan kepada rasul. Setiap sahabat yang merasa
bingung dengan hukum dari satu peristiwa, mereka akan bertanya kepada rasul,
dan lagsung mendapatkan jawaban praktisnya, sehingga dapat langsung dipraktikan
dalam kehidupan. Sepeninggalan rasul islam mengalami dinamika yang kompleks,
muncul ulama ulama mujtahid dikangan sahabat maupun tabiin merumuskan
metodologi hukum islam uyang kita kenal dengan ushul fiqih. Peletak
dasar pertama metodologi hukum islam yaitu imam syafii.
Setalah dirumuskannya metodologi hukum
islam oleh imam syafii dalam kitabnya ar-risalah, banyak ulama yang
merujuk kedalam kitab baliau tersebut. Setelah era imam mazhab bermunculah imam
mujtahid lil mazhab seperti imam al Ghazali pada tahun 5 hijriyah. Beliau
mengikuti pola imam syafii dan mengembangkan metodologi imam syafii tersebut. Setelah
era hujjatul islam imam al Ghazali, muncul penguat mazhab diantaranya
imam Nawawi, imam as suyuthi pada abad ke 9 hijriyah.[1] Pasca era dinasti
abbasiyah munculah islam mengalami stagnasi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Perang salib yang berkepanjangan, khalifah yang tidak berkompeten
menyebabkan stagnasinya keilmuan islam pada masa itu. Berangkat dari
keprihatinan tersebut, perkembangan eropa yang sangat pesat, sedangkan islam
dimasa keterpurukan, munculah gerakan pembaharuan islam. Awalnya diinisiasi
oleh jamaludin al afghani di mesir, lalu menyebar ke india, bahkan ke
indonesia. semngat jihad dan perlawanan terhadap penjajah, adalah bentuk
gerakan tajdid di indonesia.[2]
Setelah perang dunia ke 2 usai,
dibentukkan perserikatan bangsa bangsa PBB untuk menjaga perdamaian negara. Isu
isu yang hangat pada saat itu hingga sekarang adalah seputar hak asasi manusia
HAM, kesetaraan gender, lingkungan (ekologi), kemanusiaan, kemiskinan, ketimpangan
social. Cendekiawan muslim mulai membahas isu isu tersebut dengan nilai nilai
agama, salah satunya adalah maqasid syariah. Pendekatan dan ide ide
terhadap maqasid syariah memasuki perbincangan hangat oleh cendekiawan
diantaranya adalah Khaled abou el fadl dan jasser auda.
B. Biografi
Khaled Abou El Fadl dan Jasser Auda
1. Khaled
Abou El Fadl
Khaled abou el fadl adalah sarjana dalam
hukum islam. Beliau lahir di Kuwait. Orang tua Khaled abou el fadl adalah
seorang yang bergerak dalam peradilan. Khaled telah menempuh Pendidikannya di
Kuwait. Beliau belajar agama di beberapa tempat di tanah kelahirannya.
Menginjak usia remaja beliau melanjutkan studinya ke mesir. Selama dimesir Khaled
merasa atmosefir yang sangat moderat di banding di tanah kelahirannya. Belajar
di mesir membuat Khaled membuka pintu pintu konservatif yang dia dapat selama
di Kuwait. Karena mayoritas Masyarakat di Kuwait yang konserfatif dan purinitanisme.
Khaled melanjutkan studinya hingga ke negeri
paman sam dan menjadi akademisi di sana. Khaled dikenal sebagai muslim progressive.
Mengedepankan nilai nilai kemanusiaan seperti hak asasi manusia dan kesetaran
gender. Khaled yang dulunya sempat menganut purinitanisme yang konservatif
sekarang berbalik menggugat ide ide wahabisme tersebut. Sekarang khled menjadi
professor hukum islam di fakultas hukum Universitas of California los angeles
di United State. Khaled di kenal sebagai an enlightened paragon of liberal
islam.[3]
Khaled adalah seorang yang aktif sebagai penulis, karyanya telah banyak di
terjemahan keberbagai Bahasa termasuk Bahasa indonesia.
2. Jasser
Auda
Jasser Auda adalah sarjana muslim kelahiran
mesir. Dalam pengembaraan studinya, Jasser Auda menimba multidisiplin ilmu.
Baik ilmu syariah maupun ilmu science. Jasser auda juga belajar islam di masjid
al Azhar, dengan system tallaqi.[4] Beliau belajar hadits,
tafsir, ilmu al quran, fiqih, ushul fiqih. Selanjutnya jasser auda melanjutkan
pendidikannya ke negeri paman sam hingga memperoleh gelar Ph.D dalam bidang
teologi islam.
Jasser adalah seorang sarjana yang
produktif. Publikasi karyanya telah banyak terbit. Salah satu karya beliau
adalah membahas tentang maqasid syariah. Beliau memberikan pandangan yang
cendrung berbeda dari ulama ulama klasik. Jasser auda juga menjadi wakil ketua pusat
studi legislasi islam dan etika Qatar foundation, Qatar. Selain itu, jasser
auda juga sebagai guru besar program kebijakan public dalam islam, fakultas
studi islam,Qatar foundation. Penelitian utama Jasser Auda adalah al maqasid
research in the philoshopy of Islamic law.[5]
C. Hermeneutika
Khaled Abou El Fadl
khaled abou el fadl merasa prihatin denga
napa yang terjadi terhadap kaum purinitanisme, yang merusak nilai nilai syariah
sendiri. Khaled memandang perlu adanya progresifitas tpandangan terhadap
syariah agar tidak adanya otoritarianime. Dalam artian adanya tindak kejahatan
terhadap realitas ketuhan yang mengklaim bahwa pendapatnya seoloah seolah suara
tuhan dan menutup pandangan lain terhadap teks al quran dan hadits. Inilah
paham dari wahabisme yang menjadikan mereka konserfative dan mengekang.
Epistimologi yang ditawarkan oleh khaled
adalah antithesis dari CRLO yang sangat mengekang dan menjamur pada saat itu.
Dalam kerangka konseptualnya, khaled membawa pendekatan hermeneutika yang
sangat jarang digunakan sebelumnya. Hermeneutika biasanya digunakan dalam biblical
studies. Instrument penting dalam merumuskan hukum islam adalah teks (al
quran, hadits), autor (Allah, Rasul), dan reader (pembaca). Yang disebut dengan
triadik. Teori ini disebut hermeneutika negosiasi.[6]
Hermeneutika negosiasi menginginkan adanya
pertemuan antara teks, autor, dan reader. Al quran dan hadits merupakan teks yang
berisi simbolik (huruf dan kata kata) yang memanggil pembacanya. Teks tidak
dapat berdiri sendiri, mesti bersandar pada reader sebagai subjek. Sebab teks
bersifat dinamis sesuai dengan kesepakatan penggunanya dan sesuai dengan
zamannya. Disetiap zaman akan berbeda kebutuhan terhadap hukum islam. Al qruan
dan hadits memiliki otoritas bahwa al quran dan sunah memberikan kita sesuatu
apa yang ditetapkan oleh tuhan.
Autor (Allah dan Rasul) khaled meyakini bahwa
alquran bersal dari allah dan hadits berasal dari nabi sebagai utusanNya Allah.
Namun khaled menginginkan untuk menulusuri kebenaran dari Author. Terutama
menelusi hadits karena hadits Riwayat sanad turun temurun yang menurut khaled
bisa saja dipengaruhi oleh author.[7] Untuk itu, khaled menginginkan
author meninjau sosio history, emotional, subjectivity. Kondisi psikis perawi akan
memengaruhi hasil yang akan didapat dari penafsiran sebuah makna. Untuk itu
khaled menginginkan peninjauan terhadap autor utamanya perawi.[8]
Yang dimaksud dengan reader adalah para
ulama dan cendekiawan yang akan menetapkan hukum. Khaeld menginginkan
standarisasi terhadap reader. Pertama seorang reader mesti memegang nilai
kejujuran, integritas, holistic, masuk akal, dan ulet. Khaled menekankan
hermeneutika negosiasi akan membuat islam menjadi agama rahmatanlilalamin.
Hermeneutika Otoritatif Khaled berkutat
pada persoalan mengenai pengekangan makna yang terjadi dalam Hukum Islam oleh
seseorang (ulama/lembaga) yang otoriter. Khaled mengungkapkan para tokoh agama
tidak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan langsung berbicara “atas nama
Tuhan”, atau bahkan menjadi “corong Tuhan”. Ini berarti telah terjadi
otoritarianisme tanpa mempedulikan aturan metodologi pengambilan Keputusan
(ijtihad, istinbath hukum) yang telah dilakukan oleh ulama tradisional/klasik.
D.
Maqashid Syariah Jasser Auda
Maqasid
syariah akhir akhir ini menjadi pergulatan dalam kesarjanaan. Maqasid syariah
yang merupakan tujuan dari agama menurut jasser auda mesti menjadi metodologi
ushul fiqih dalam menetapkan hukum. Karya jasser auda di dalam bukunya
ditegaskan bahwa dia menuliskan bukunya pada saat di London. Isu yang sangat
hangat dibahas pada saat itu adalah radikalisme dan terorisme. Jasser auda
menolak statement yang mengatakan bahwa islam sebagai pemicu lahirnya sikap
radikalisme yang berujung pada terorisme. Jasser auda berpendapat bahwa tidak
ada satu temapun dalam hukum islam, yang mendukung kekerasan.
Jasser
auda dalam meelaborasiakan konsepnya menggunakan sumber sumber klasik. Karena
maqasid syariah umumnya lebih banyak dibahas didalam kitab kitab klasik. Jasser
auda mampu merekonstruksi konsep maqasid syariah dan mengaktuaisasikannya dalam
konteks hukum islam kontenporer yang sesuai dengan peradaban manusia.[9] Jasser menawarkan konseptual
pondasi dalam hukum islam, daintaranya holisme, keterbukaan, dinamis, dan
multidimensionalitas.
Jasser
juga menawarkan maqasid syariah menjadi metodologi dalam ushul fiqih. Maqasid
syariah yang ditawarkan lebih holistic dan lebih luas jangkauannya. Jasser
berpandangan bahwa teori klasik maqasid syariah hanya bersifat protektif pada
kelestarian dan cakupan yang sempit. Auda berpendapat bahwa Allah selalu
bertumpu pada illat Ketika hendak menetapkan sebuah syariah dan itulah
maslahah.[10]
Menurut jasser dalam maqasid syariah mesti melalui pendekatan yang sistematik,
saling terhubung antara satu dengan yang lainnya. Ia menggunakan teori system
modern untuk menjelaskan maqasid syariah tidak bisa dipahami secara terpisah,
melainkan sebagai bagian dari kerangka yang dinamis dan saling berinteraksi.[11]
Kemudian
menurut jasser perlu adanya reformasi dan kontekstualisasi. Auda menekankan
akan pentingnya memahami maqasid sesuai dengan konteks. Hukum islam tidak boleh
terlepas dari realitas social, budaya, Masyarakat, social, dan kebutuhan
Masyarakat disetiap eranya. Maqasid adalah tujuan tersirat dalam menetapkan
sebuah hukum seperti keadilan,, Rahmat, dan maslahah. Jasser auda juga membuat kerangka maqasid yang
lebih luas. Tidak hanya persoalan hifzun nafs, hifz mal, hifzul al aqli, hifzul
din, hifzun nasbi, melainkan harus diintegrasikan kedalam isu isu social seperti
HAM, keseinmbangan ekonomi dan social, pelestarian lingkungan, dan focus pada
nilai nilai universal.
D. KESIMPULAN
Perkembangan
zaman yang begitu cepat, menuntu kita untuk beradaptasi dengan kondisi. Syariah
yang telah ditetapkan tuhan melalu nabi dan Alquran,hadits merupakan teks suci
yang berasal dari nabi. Perkembangan syariah telah melalui berbagai macam
tahapan. Dari masa nabi hingga masa sekarang. Sejarah telah mencatatkan
bagaimana perkembangan syariah dari masa ke masa, berikut dengan dinamikanya
Pada
masa sekarang para cendikiawan mengelaborasi tema tema syariah dengan bermacam
pendekatan multidisiplioner. Dua tokoh cendekiawan muslim tersebut adalah khled
abou el fadl dan jasser auda. Khaled berpendapat bahwa tidak otrianisme dalam
menetapkan hukum islam. Khaled menggunakan pendekatatan hermeneutika negosiasi
untuk menetapkan hukum islam. Sedangkan jassr auda merekonstuksi teori maqasid
syariah agar jangkauannya lebih luas dan sesuai dengan isu isu dimasa sekarang.
Seperti HAM, lingkungan,keseimbangan ekonomi dan social, dan universal agar
terciptanya keadilan, kebebasan dan kesejahteraan yang merupakan inti dari
syariah.
penulis: Novri Kurniawan
DAFTAR
PUSTAKA
Ag, M. “Kajian Hermeneutika Khaled Abou
El Fadl,” 2009.
Ahmad Nuruddin. “Pendekatan Hermeneutika
Negosiatif-Otoritatif Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women
Pemikiran Khaled M Abou El Fadl.” Discovery : Jurnal Ilmu Pengetahuan 9,
no. 1 (2024): 40–49. https://doi.org/10.33752/discovery.v9i1.6022.
Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.
“Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam.” Pt Rajagrafindo Persada
58, no. 12 (2018): 190.
Ferdiansyah, H. “Pemikiran Hukum Islam
Jasser Auda.” Repository.Uinjkt.Ac.Id, 2017, 1–37.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/38643.
Hefni, Wildani. “FIKIH MODERAT: STUDI
TERHADAP PEMIKIRAN HUKUM KHALED ABOU EL FADL DAN MOHAMMAD HASHIM KAMAL” 8, no.
75 (2020): 147–54.
Review, Islam, Atas Buku, and Jasser
Auda. “BOOK REVIEW : Maqasid As-Shariah Dan Pendekatan Filosofis Hukum
as-Shariah as Philosophy of Islamic Law ”,” 2008.
Safriadi, Tgk, and S Hi. “MAQÃSHID
AL-SYARI’AH & MASHLAHAH,” n.d.
Syihab, Muhammad Baiquni. “Telaah Kritis
Pemikiran Jasser Auda Dalam Buku ‘Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic
Law: A Systems Approach.’” AN NUR: Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2023):
114–36. https://doi.org/10.37252/annur.v15i1.455.
[1] Tgk Safriadi and S Hi, “MAQÃSHID AL-SYARI’AH & MASHLAHAH,” n.d.
[2] M.H. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., “Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan
Hukum Islam,” Pt Rajagrafindo Persada
58, no. 12 (2018): 190.
[3] Wildani Hefni, “FIKIH MODERAT: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN HUKUM KHALED ABOU
EL FADL DAN MOHAMMAD HASHIM KAMAL” 8, no. 75 (2020): 147–54.
[4] Muhammad Baiquni Syihab, “Telaah Kritis Pemikiran Jasser Auda Dalam Buku
‘Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach,’” AN NUR: Jurnal Studi Islam 15, no. 1
(2023): 114–36, https://doi.org/10.37252/annur.v15i1.455.
[5] H Ferdiansyah, “Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda,” Repository.Uinjkt.Ac.Id, 2017, 1–37,
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/38643.
[6] M Ag, “Kajian Hermeneutika Khaled Abou El Fadl,” 2009.
[7] Ag.
[8] Ahmad Nuruddin, “Pendekatan Hermeneutika Negosiatif-Otoritatif Speaking in
God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women Pemikiran Khaled M Abou El Fadl,”
Discovery : Jurnal Ilmu Pengetahuan
9, no. 1 (2024): 40–49, https://doi.org/10.33752/discovery.v9i1.6022.
[9] Syihab, “Telaah Kritis Pemikiran Jasser Auda Dalam Buku ‘Maqasid
Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach.’”
[10] Islam Review, Atas Buku, and Jasser Auda, “BOOK REVIEW : Maqasid
As-Shariah Dan Pendekatan Filosofis Hukum as-Shariah as Philosophy of Islamic
Law ”,” 2008.
[11] Ferdiansyah, “Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda.”
0 Komentar